Tuesday, June 28, 2011

Tidak syah Nikah Tanpa Wali


Dari Ubaidullah bin Umar Al-Umari rahimahullah dia berkata:
حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الشِّغَارِ
قُلْتُ لِنَافِعٍ مَا الشِّغَارُ قَالَ يَنْكِحُ ابْنَةَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ ابْنَتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ وَيَنْكِحُ أُخْتَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ أُخْتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ
“Telah menceritakan kepadaku Nafi’ dari ‘Abdullah (bin Umar) radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah syighar.
Saya bertanya kepada Nafi’, “Apa maksud syighar?” Ia menjawab, “Seseorang mengawini anak perempuan seseorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar. Atau dia menikahi saudara perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut menikahkannya dengan saudara perempuannya tanpa mahar.” (HR. Al-Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud no. 1785, At-Tirmizi no. 1101, dan Ibnu Majah no. 1870)
Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali.” (HR. At-Tirmizi no. 1021)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka utamakanlah yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 2661)

Penjelasan ringkas:
Di antara syarah syahnya nikah adalah adanya keridhaan dari kedua mempelai, dalam artian pernikahan tidak dilakukan dalam keadaan terpaksa, ini telah kami terangkan pada artikel sebelumnya.

Syarat syah berikutnya adalah adanya mahar dari pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun dengan nilai yang sedikit dan walaupun belum dibayarkan ketika itu. Karenanya semua pernikahan tanpa mahar seperti nikah syighar adalah nikah yang haram lagi tidak syah.

Syarat syah berikutnya adalah adanya wali bagi mempelai wanita, baik dia masih perawan maupun sudah janda, keduanya disyaratkan mempunyai wali yang menikahkannya. Jika si wanita tidak mempunyai wali karena dia anak zina atau keluarnya seluruhnya kafir misalnya, maka yang menjadi wali dari wanita itu adalah dari pihak yang ditunjuk oleh penguasa. Karenanya semua pernikahan tanpa wali seperti nikah mut’ah dan semacamnya adalah nikah yang batil lagi tidak syah.

Syarat berikutnya adalah adanya dua saksi adil yang menyaksikan pernikahannya. Ada sebuah lafazh tambahan dari hadits Abu Musa di atas, “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” Tambahan ini diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, sebagian menyatakan lemahnya seperti Asy-Syaikh Musthafa Al-Adawi dalam Jami’ Ahkam An-Nisa` (3/322) dan sebagian lainnya menyatakan shahihnya seperti Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil (6/258). Ala kulli hal, Imam Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm (2/168), “Hadits ini walaupun sanadnya terputus di bawah Nabi shallallahu alaihi wasallam, akan tetapi mayoritas ulama berpendapat dengannya.” At-Tirmizi juga berkata setelah meriwayatkan hadits di atas, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, para tabi’in setelah mereka, dan selain mereka. Mereka menyatakan: Tidak ada nikah tanpa adanya saksi-saksi. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang berbeda pendapat dalam masalah ini kecuali sekelompok ulama belakangan.

Selain memperhatikan semua syarat syah nikah di atas, kedua calon mempelai juga harus memperhatikan empat perkara yang tersebut dalam hadits Abu Hurairah di atas dalam memilih pasangan hidupnya. Karena keempat perkara itu merupakan kriteria yang paling ideal mengingat Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri yang langsung menyarankannya.

Sunday, June 19, 2011

Dari Sidratul Muntaha Membawa Cinta




Mungkin iqbal (penyair Islam) sebelum menulis mengelengkan kepalanya. Jenuh memikirkan. Bagaimana dia boleh begitu? Iqbal tidak tahu mengolah puisinya. Bagaimana ingin bermula. Bagaimana menyusun bahasa. Supaya manusia tidak menyalah anggap makna puisinya. Mungkin dalam hati Iqbal kagum. Iqbal mungkin dapat merasakan perjalanan itu. Dapat merasa keindahan itu melalui ilmu wahyu. Kerana tidak ada keindahan selain tempat itu. Tempat yang Maha Agung. Tempat bersemayam Yang Maha Pencipta. Iqbal terkedu lagi. Bagaimana harus aku puitiskannya. Itulah Iqbal mungkin yang ingin menerangkan apa dalam hati dan jiwa melalui kata kata puitisnya. lantas terkeluarlah …

Kalau saja aku jadi Muhammad, pasti aku takkan turun kebumi setelah sampai ke Sidratul Muntaha.

Iqbal meluahkan rasa. Meluahkan cinta yang meluap, yang telah dilalui oleh junjungan kita. Siapakah yang boleh turun balik kebumi setelah berhadap diharibaan Allah. Melihat wajah Allah. Bekata kata dengan Allah. Musa pun pengsan diBukit Tursina bila ingin menjenguk Allah. Muhamad kelangit ketujuh dijemput Allah atas cintanya. Sidratul Muntaha buka tempat biasa. Tempat mulia yang amat mengoda. Tapi Muhammad tidak terliur. Bukan tidak sudi. Bukan tidak kepingin untuk menetap bersama kekasihnya. Tapi Muhamad bukan orang biasa. Yang mementing diri. Allah Maha Tahu. Muhammad cintakan nya terlalu dan terlalu. Tidak dapat disangkal lagi. Tapi Muhamad manusia. Muhammad Rasul. Muhamad punya rasa cinta. Amat cinta. Pada ummatnya. Pada kita.

Bukan Muhamad tidak dapat bandingkan dua kehidupan yang dilaluinya. Dibumi, darah dan airmata. Di Sidratul Muntaha keasyikan yang meraja. Tapi Sidratul Muntaha bukan perhentiannya. Muhammad tahu, umatnya memerlukan unggun. Memerlukan cahaya. Lantas Muhammad turun juga kebumi menembus kegelapan hati kemanusiaan dan menyalakan kembali unggun api Cintanya. Cintanyalah yang membuat dia mengarahkan Buraq dengan laju menjunam kebumi. Itulah Muhammad. Tidak pernah sesaat melupa ummatnya.

Muhammad tidak pernah kering dengan cintanya. Meski pun anak anak Thaif melemparinya hingga berdarah, Cintanya juga memanjatkan doa untuk mereka! “Ya Allah, ampunilah ummat ku sesungguhnya mereka tidak mengetahui’.

Itulah Muhamad Nabi kita. Dengan kekuatan cintanya menakluk jiwa jiwa manusia. Satu persatu. Wahyu terus turun membantu untuk mengerakan dan memarakan api cinta kepada dakwah untuk manusia. Sehingga kota Madinah ditawan dengan cintanya. Seluruh jazirah arab. Rom. Parsi dan hampir sepertiga dunia.

Jalan cinta selalu merubah dan bersatu dengan kekuatan menjangkau dari pangkal hati seorang manusia sehingga merubah peradaban manusia. Cinta. Muhammad. Rasullulah. Cintanya tidak sama macam kita. Cinta kita cinta yang lemah. Cinta kita seperti buih. Cinta kita punya batasan. Cinta kita tak punya kasih sayang. Hanya berhenti setakat lisan. Cinta kita macam air bah. Sedikit teruji kita berubah. Kita lari meninggalkan cita cita besar untuk dakwah. Itulah lemahnya kita dan yang perlu kita perbetulkan. Kerana Cinta ni membawa kekuatan ukuhuwah untuk kita kembali kejalan khilafah. Satu antara tiga jalan yang disebut oleh AlBanna.

Wahai Rasul. Amat agung sekali cintamu pada umat ini.

Suatu hari Malaikat maut pun berjalan perlahan menghampiri tubuh lemah sang kekasih Allah. Nabi Saw. bertanya mengapa Jibril tak ikut menyertainya. Malaikat maut berkata bahwa Jibril sedang bersiap di atas langit dunia untuk menyambut ruh suci kekasih Allah dan penghulu dunia ini. Atas permintaan beliau, Malaikat Jibril pun datang menghampiri. Nabi Saw. bertanya dengan suara lemah, “Wahai Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Jibril menjawab,”Subhanallah, pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu.”

Jawaban itu ternyata tak membuat Rasulullah Saw. lega, matanya masih penuh kecemasan. Jibril cemas lalu bertanya, “Engkau tidak senang mendengar kabar ini, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. bertanya lagi, ” Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” Jibril menjawab, “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku, ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya.’”

Inilah jawaban yang melegakan sang kekasih Allah. Bayangkan pada saat detik-detik terakhir hidupnya, Muhammad Saw. tetap saja menaruh perhatian kepada umatnya. Inilah semua kecintaan yang luar biasa yang ditunjukkan oleh seorang Rasul kepada umatnya. Berapa besar kecintaan yang telah kita berikan kepada Rasulullah Saw. sepanjang hayat kita. Adakah selayaknya kita akan bersama dengannya nanti?

Tika detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah Saw. ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, kening beliau berkeringat, urat-urat lehernya menegang, tanda beliau sedang menahan sakit. ” Wahai Jibril, betapa sakitnya sakratulmaut ini, Lemah suara Rasulullah Saw. mengaduh. Fatimah terpejam tidak mampu melihat ayah-nya, Imam Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril pun berpaling. “Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu, wahai Jibril?” tanya Rasulullah Saw. pada sahabat karibnya itu.

“Siapakah yang tak sedih, melihat kekasih Allah direnggut ajal, ” jawab Jibril. Sejenak kemudian terdengar suara Rasulullah Saw. mengaduh karena sakit yang tak tertahankan lagi. ” Ya, Allah, dahsyat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”

Tidakakah sayu hati kita tika ini! Subhanallah. Sungguh mulia engkau, wahai Rasulullah, pada saat-saat kritis seperti itu engkau masih memikirkan umatmu, engkau masih ingin menanggung semua beban dahsyatnya sakratulmaut ini dari umatmu!

Tubuh suci Rasulullah Saw. pun mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak mem-bisikkan sesuatu, Imam Ali k.w. segera mendekatkan telinganya. “Ushikum bis-shalah, wa ma malakat aimanukum, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu.” Dan disaat bibir Rasulullah Saw. yang mulai kebiruan.” Ummati, ummati, ummati terdengar suara lemahnya.

Sungguh tak ada kisah cinta yang setanding Rasullulah.

Itulah Muhammad Saw., yang terlahir untuk jadi cahaya yang menerangi.Ya, dialah cahaya, karena Allah telah mengutusnya dengan membekalinya cahaya dan petunjuk. Allah Swt. berfirman,

Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi ~ (QS Al-Ahzab [33]: 45-46).

Ya habibullah. Redhailah aku untuk bersamamu nanti. Ya Allah Masukkanlah ruh kecintaan dalam lubuk hatiku untuk mencintai KekasihMu.